Senin, 22 April 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR INDONESIA


WAE REBO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR


Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional yang terletak di dusun terpencil tepatnya di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terkenal dengan sebutan kampung di atas awan, Wae Rebo terletak di ketinggian 1000 mdpl dikelilingi oleh perbukitan yang sangatlah asri. Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012 menyisihkan 42 negara lain.

  •  Sejarah




Nenek moyang suku wae rebo disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali

Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.

Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.

Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro. ”Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro

Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.

Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.


  •  Rumah Adat Mbaru Niang


Rumah adat Mbaru Niang adalah contoh karya arsitektur vernakular yang unik, rumah berbentuk kerucut ini mirip seperti rumah Honai di Papua dan cukup mirip dengan rumah adat di Tanjania, Afrika. Atapnya ditutupi daun lontar, dari atas hingga ke bawah dan hampir menyentuh tanah, Tingginya mencapai 15 m dengan pembagian beberapa lantai.


  • Tata Ruang

Rumah adat Mbaru Niang secara tata ruang vertikal terbagi atas  5 lantai. Setiap level lantainya mempunyai nama dan fungsinya masing-masing yaitu :

1.       Lantai pertama (lantai dasar) disebut lutur yang dipakai sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan untuk bersama, seperti ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar yang dipisahkan dengan papan, sementara dapur ada di bagian tengah rumah.

2.       Lantai kedua merupakan loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari

3.       Lantai ketiga dinamakan lentar yaitu tempat untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan

4.       Lantai keempat disebut lempa rae yang digunakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,

5.       Lantai kelima disebut dengan hekang kode sebagai tempat untuk sesajian persembahan kepada leluhur.

Setiap rumah adat Mbaru Niang memiliki dua pintu, yaitu di depan, di belakang. Selain itu juga terdapat empat jendela kecil. Pintu depan setiap rumah adat dibangun menghadap ke compang. Compang adalah titik pusat Kampung Wae Rebo yang berada di batu melingkar di depan rumah utama. Compang dipakai sebagai pusat kegiatan warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur dan Tuhan.


  • Struktur dan Konstruksi


Rumah adat Mbaru Niang strukturnya terdiri dari 5 lantai yang memiliki fungsi tertentu. Tiang utama dibuat dari bahan kayu Worok, papan lantai dibuat dari kayu Ajang, sementara untuk balok-balok struktur rumah menggunakan kayu Uwu.

Rangka atap rumah dibuat dari bambu, ada juga yang dibuat dari kayu yang berukuran 1 cm, yaitu kayu kentil. Kayu-kayu ini dirangkai membentuk ikatan-ikatan panjang, yang kemudian diikatkan secara horizontal membentuk lingkaran pada setiap tingkatan lantai rumah.


  
Proses pembangunan rumah adat ini dimulai dengan meletakan tiang utama pada lantai dasar yang dimasukan sekitar 1,50 sampai 2.00 meter ke dalam tanah. Supaya tiang utama ini tidak cepat lapuk, tiang ini dilapisi ijuk. Lantai dasar rumah ini dibuat seperti panggung, tingginya sekitar 1.20 m dari permukaan tanah.

Tahap selanjutnya adalah pemasangan balok-balok lantai dan langkah yang sama dilakukan hingga lantai yang terakhir. Tiang disetiap tingkat lantainya ternyata tidak menerus, namun terputus disetiap tingkat lantainya. Setelah setiap lantainya berbentuk lingkaran, proses selanjutnnya yaitu memasang rangka atap atap yang terbuat dari bambu. Rumah ini menggunakan bahan rotan sebagai bahan balok-balok strukturnya.


  • Konservasi Arsitektur



Kampung Waerebo yang asli terdiri dari 7 rumah tradisional. Namun di tahun 2008, hanya ada 4 rumah tradisional yang tersisa. 3 rumah tradisional lainnya telah digantikan dengan bentuk yang berbeda.

Selain 4 rumah yang tersisa, 2 di antaranya tidak pada kondisi yang baik karena sudah digunakan 17 tahun, ketika dua lainnya telah direkonstruksi sekitar 1998 oleh bantuan beberapa donator.

Meskipun beberapa warga ingin membangun kembali rumah tradisional tersebut, mereka menunda untuk melaksanakannya karena beberapa kebutuhan warga akan kehidupan sehari-hari untuk bekerja sama untuk mendirikan bangunan. Setelah merencanakan konservasi, para warga sedang bersiap-siap untuk kehilangan dua lagi rumah tradisionalnya.

Para tim juga berkesempatan melakukan pembangunan rumah di Waerebo yang otentik tersebut. Tim ini melibatkan dua mahasiswa yang diberi beasiswa untuk 5 minggu tinggal disana, tanpa alat komunikasi elektronik dan tanpa kontak dengan kehidupan luar. Dua orang mahasiswa ini saat pagi membantu para warga untuk membangun rumah sedangkan di malam hari mencatat dan membuatnya menjadi sebuah laporan yang sistematis tentang pembuatan rumah tersebut. Mahasiswa tersebut tidak hanya dianggap tamu tetapi sudah dianggap bagian dari keluarga Waerebo oleh para warganya. Setelah 5 bulan tinggal, para warga memberi setifikat kelulusan bagi mereka dan melakukan upacara adat perpisahan.



Di dalam pembangunan project terakhir dari Mei 2009 sampai Mei 2011, terdiri dari 3 fase

1. Fase Pertama (Mei 2009-Oktober 2009), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan rekonstruksi Tirta Gena Ndorom

2. Fase Kedua (November 2009-Mei 2010), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan rekonstruksi Tirta Gena Jekong

3. Fase Ketiga (November 2010-Mei 2011), rekonstruksi 3 rumah kerucut lainnya. Dua di antaranya digunakan sebagai rumah warga (Laksamana Gena Jintam dan Panigoro Gena Mandok), ketika satu lainnya digunakan sebagai guest house  dengan rumah kerucut yang lebih kecil yang disandingkan dengan yang lain sebagai dapur terpisah (Tirta Gena Maro)

4. Fase Keempat, setelah kampung tersebut selesai terbangun 7 rumah tradisionalnya, beberapa pengembangangan dibuat untuk turis potensial mereka, seperti taman bacaan untuk anak-anak, rebrading sovernir khas Waerebo, dan adanya guest house baru.

Semua fasilitas tambahan yang baru dibangun di luar lingkaran urama dari 7 rumah tradisional tersebut.


REFERENSI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar