Selasa, 07 November 2017

KASUS SERTIFIKAT GANDA (BAB 3)



Tanah pada saat ini merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia.

Tidak sedikit korban yang jatuh karena mempersoalkan atau mempertahankan beberapa persegi tanah saja. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus di bidang pertanahan di Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan PertanahanNasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus.

Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah. Hal ini menyebabkan terkonsentrasinya penguasasan dan pemilikan tanah dalam hal luasan di pedesaan dan/atau jumlah bidang tanah di perkotaan, hanya pada sebagian kecil masyarakat. Di sisi lain persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil mencapai tujuannya.

Menurut Elza Syarief dalam bukunya yang berjudul “Menuntaskan Sengketa Tanah” mengemukakan pendapat bahwa, secara umum sengketa tanah timbul akibat faktor-faktor sebagai berikut:
1.    Peraturan yang belum lengkap;
2.    Ketidaksesuaian peraturan;
3.    Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
4.    Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
5.    Data tanah yang keliru;
6.    Keterbataan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
7.    Transaksi tanah yang keliru;
8.    Ulah pemohon hak atau
9.    Adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Sedangkan menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik Pertanahan” mengemukakan dua hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan secara khusus, sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

1.    Secara umum
       a. Faktor hukum

   Ø  Regulasi kurang memadai;
Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral, keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai substansinya.

   Ø  Tumpang tindih peradilan;
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu  sengketa tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya aparatur agrarian juga merupakan hal yang memicu timbulnya sengketa.

   Ø  Penyelesaian dan birokrasi berbelit-belit
Penyelesaian perkara lewat pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu penyelesaian yang lama apalagi bila terjebak dengan mafia peradilan, maka keadilan tidak berpihak pada yang benar. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah, karena kondisinya saat ini dalam berurusan dengan pengadilan tidaklah sederhana, birokrasi pengadilan yang berbelit-belit dan lama serta biaya yang mahal.

   Ø  Tumpang tindih peraturan
UUPA sebagai induk dari peraaturan sumber daya agrarian lainnya khususnya tanah, namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan drngan sumber daya agrarian tetapi tidak menenmpatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agrarian.

Struktur hukum agrarian menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundangan sektoral.

b. Faktor non hukum

   Ø  Tumpang tindih penggunaan tanah
Pertumbuhan penduduk yang  cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan berkurang akibat berubah fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang terus-menerus menyelenggarakan proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan jika sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul kepentingaan yang berbeda. Itulah mengapa pertumbuhan sengketa tanah yang terus menerus meningkat.

   Ø  Nilai ekonomis tanah yang tinggi
Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ni terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan menitikberatkan pada pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan rakyat.
Fungsi sosial tanahpun dikesampingkan karena semuanya berorientasi pada bisnis. Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara pemilik tanah dalam hal ini rakyat dengan para pemilik modal yang difasilitasi pemerintah.

   Ø  Kesadaran masyarakat meningkat
Perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan dengan sukarela dan cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacuh pada NJOP (nilai jual objek pajak). Belakangan masyarakat menuntut adanya penberian ganti rugi berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut pemberian kompensasi berupa pemukiman kembali yang lengkap dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tempat asal mereka yang dijadikan areal pembangunan.

   Ø  Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik lewat kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara luas lahan yang relatif tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian.

   Ø  Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.


Secara garis besar dapat ditarik beberapa hal yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan dan sertifikat ganda yaitu sebagai berikut:

1.) Kurangnya transparansi informasi mengenai kepemilikan tanah.
2.) Nilai tanah yang ekonomis dan tanah yang dijadikan masyarakat sebagai simbol eksistensi sosial bermasyarakat, sehingga setiap orang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya.
3.) Lemahnya regulasi padahal  sengketa pertanahan bersifat multidimensional.
4.) Tumpang tindihnya keputusan-keputusan yang dikeluarkan lembaga- lembaga negara yang berkepentingan mengenai kepemilikan hak atas tanah.
5.) Tafsiran dikalangan masyarakat yang salah mengartikan mana tanah adat atau memiliki hak ulayat dan mana yang merupakan tanah bukan milik adat atau tanah negara.
6.) Permasalahan land reform yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan.
7.) Serta adanya bencana alam yang menyebabkan rusaknya tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan bergesernya tanah setelah bencana.
8.) Dan yang paling kompleks adalah tidak dimanfaatkannya peta pendaftaran tanah dan sistem komputerisasi yang belum modern.
9.) Bahkan ketidakjujuran aparat desa dan pemohohon dalam hal ini pemilik lahan dalam memberikan informasi kepada BPN merupakan faktor utama. Itulah beberapa hal kecil penyebab timbulnya sengketa tanah dan sertifikat  ganda yang tentunya masih banyak hal  lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya hal itu.


Disisi lain, terjadinya sertifikat-sertifikat ganda mengakibatkan cacat hukum seperti sertifikat palsu dan sertifikat ganda dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan ekstern. 

 ØFaktor intern antara lain:

1.) Tidak dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
2.) Kurang berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3.) Ketidak telitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 ØFaktor ekstern antara lain:

1.) Masyarakat masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2.)  Persediaan tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3.) Pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah dari tanah pertanian ke non pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.


REFERENSI : 
http://thesis-hukum.blogspot.co.id/2015/02/penyelesaian-sengketa-tanah-dan.html 

Selasa, 03 Oktober 2017

LANDASAN HUKUM DAN PENJABARAN PASAL - PASAL (BAB 2)

PENDAHULUAN




Secara umum Substansi Pertanahan diatur melalui satu Undang-Undang Pokok, yaitu UU No. 5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ) yang merupakan hukum dasar pertanahan, yang mengatur masalah pokok keagrariaan Indonesia secara garis besar. Sedangkan pelaksanaannya lebih lanjut diatur kembali melalui Undang - Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan perundangan lainnya. Adapun maksud pemberlakuan UUPA adalah dalam rangka untuk :

• Meletakkan dasar - dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
• Meletakkan dasar - dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum, dalam hukum pertanahan.
• Meletakkan dasar - dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak - hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya


SERTIFIKAT TANAH



Dalam hal pelaksanaan upaya peletakan dasar - dasar pemberian kepastian hukum atas hak - hak tanah rakyat, yang dikaitkan dengan hukum privat, yaitu kepemilikan tanah pribadi ( Orang dan Badan Hukum ). UUPA dan PP No. 24 / 1997 ( tentang Pendaftaran Tanah ) memberikan janji manis kepada masyarakat pemegang hak atas tanah, yaitu adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, sebagaimana dalam :

1. Pasal 19 ayat 1 UUPA, yang menegaskan bahwa : " Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ".

2. Pasal 19 ayat 2 c UUPA menegaskan bahwa setelah bidang tanah itu didaftar, Pemerintah kemudian menerbitkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah.

3. Pasal 1 angka 11 dan Pasal 32 ayat 1 PP No. 24 / 1997, menegaskan bahwa Sertifikat adalah tanda bukti hak, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 c UUPA, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah.

4. Pasal 3 dan 4 PP No. 2 / 1997, menegaskan bahwa Kepada masyarakat yang sudah mendaftarkan tanah miliknya, diberikan sertifikat tanah, agar mereka dapat dengan mudah membuktikan diri sebagai pemegang hak, dalam rangka untuk mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum.

Kepastian Hukum

Jaminan kepastian hukum hak atas tanah adalah kepastian hukum yang tertuju pada kepemilikan tanah, sehingga adanya kepastian hukum hak atas tanah akan memberikan kejelasan tentang :

1. Kepastian Subjek, yaitu kepastian mengenai si Pemegang hak ( Pemilik tanah ),
2. Kepastian Objek, yaitu kepastian mengenai Tanahnya, seperti : Letak, Bentuk, Luas, Batas - batas dan lain sebagainya.

Kepastian terhadap kedua hal tersebut diatas sangat besar artinya, terutama dalam kaitannya dengan "lalu lintas hukum" karena dengan adanya kepastian hukum yang sedemikian itu, maka pertanyaan - pertanyaan mengenai keberadaan suatu bidang tanah dengan serta - merta akan terjawab secara otomatis.

Perlindungan Hukum

Isyarat mengenai jaminan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana yang dijanjikan oleh UUPA dan PP No. 24 / 1997, untuk selanjutnya di support oleh hukum positif lainnya, yang memberikan janji perlindungan atas kepemilikan tanah dari berbagai tindak kriminal, antara lain seperti :

A. KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) dalam beberapa pasalnya, antara
lain seperti berikut ini :

1. Pasal 167 ayat 1 menegaskan bahwa " Barangsiapa memaksa masuk kedalam .................. pekarangan orang lain dengan melawan hukum diancam dengan pidana penjara 9 bulan atau denda ...... " .

2. Pasal 385 menegaskan bahwa " Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, Pertama : Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menjual, menukarkan, membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah ........ orang lain, ........... . Kedua : Barangsiapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah Indonesia yang telah dibebani ............. tanpa memberitahukan ........ kepada pihak yang lain. Ketiga : Barangsiapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah Indonesia dengan menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan. Keempat : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui orang lain yang mempunyai .......... hak atas tanah itu. Kelima : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah itu telah digadaikan. Keenam : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia oleh suatu masa, padahal diketahui bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu ".

3. Pasal 389 menegaskan bahwa " Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menghancurkan, memindahkan, membuang atau membikin tak dapat dipakai sesuatu yang digunakan untuk menentukan batas pekarangan, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan ".

4. Pasal 551 menegaskan bahwa " Barangsiapa tanpa wenang berjalan atau berkendaraan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya diancam dengan denda ........ ".


B. UU No. 51 Prp / 1960 ( Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya ) No. Undang-Undang No. 1 / 1961, Pasal 6 ayat 1 menegaskan bahwa " .......Maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama - lamanya 3 bulan dan atau denda ......... :

1. Barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan ......

2. Barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah.

3. Barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk, atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan dimaksud ............ pasal ini.

4. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut ......... pada pasal ini ".


C. PP No. 24 / 1997 ( Tentang Pendaftaran Tanah ) : Pasal 32 ayat 2
" Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikat baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut ".

Dari penegasan - penegasan peraturan perundangan tersebut diatas, nampak jelas bahwa Sertifikat Tanah adalah tanda bukti kepemilikan tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah


REFERENSI :

http://masyarakatadilindonesia.blogspot.co.id/2011/02/dasar-hukum-dan-perlindungan.html

PENDAHULUAN / LATAR BELAKANG HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN (BAB 1)

LATAR BELAKANG HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN



PENGERTIAN HUKUM
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.

PENGERTIAN PRANATA
Pranata atau institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misalkan dikucilkan)). Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

PENGERTIAN PEMBANGUNAN
Pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Beberapa ahli di bawah ini memberikan definisi tentang pembangunan, yakni:
  • (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
  • (Johan Galtung) Pembangunan merupakan suatu upaya untuk memenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan sosial.
  • (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004) Pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.
  • (Siagian 1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.


PENGERTIAN HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Hukum pranata pembangunan yaitu, suatu peraturan mengenai interaksi pelaku pembangunan untuk menghasilkan tata ruang suatu daerah menjadi lebih berkualitas dan kondusif. Hukum pranata pembangunan juga berdiri untuk menyempurnakan tatanan pembangunan pemukiman agar lebih teratur,berkualitas, dan efektif bagi pengguna (masyarakat) dan pemerintah pada setiap daerah. Pelaku pembangunan yang terlibat meliputi Arsitektur, pengembang, kontraktor, dinas tata kota dan badan hukum.



LATAR BELAKANG KASUS

Tanah/lahan merupakan suatu rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk tempat bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya.

Pengertian ini memberikan makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup sangat membutuhkan tanah/lahan, baik digunakan sebagi tempat tinggal, tempat bercocok tanam, maupun untuk tempat usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa setiap orang berusaha menguasai dan mempertahankan bidang-bidang tanah/lahan tertentu termasuk mengusahakan status hak kepemilikannya.

Dalam sistem hukum Agraria di Indonesia dikenal ada beberapa macam hak penguasaan atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang Pokok Agraria, yaitu antara lain: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.

Pada dasarnya istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. Dengan pemberian surat keterangan berarti Pejabat yang bersangkutan telah memberikan status tentang keadaan seseorang.

Menurut KBBI, Sertifikat adalah tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.

Pengertian Sertifikat Tanah dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19, menyebutkan bahwa:

- Ayat (1)   Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Ayat (2)  Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

a.)Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b.)Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c.)Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

Dengan berdasar ketentuan Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa dengan pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah tersebut.

Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat tanah memuat:

a.Data fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah;
b.Data yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

Istilah “sertifikat” dalam hal dimaksud sebagai surat tanda bukti hak atas tanah dapat kita temukan di dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, bahwa:

- Ayat (3)   Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur setelah dijahit secara bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat  dan diberikan kepada yang berhak”.
- Ayat (4)   Sertifikat tersebut pada ayat (3) pasal ini adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria”.

Serifikat hak atas tanah ini diterbitkan oleh Kantor Agraria Tingkat II (Kantor Pertanahan) seksi pendaftaran tanah. Pendaftaran itu baik untuk pendaftaran pertama kali (recording of title) atau pun pendaftaran berkelanjutan (continious recording) yang dibebankan oleh kekuasaan hak menguasai dari negara dan tidak akan pernah diserahkan kepada instansi yang lain. Sertifikat tanah yang diberikan itu dapat berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah, apabila dipersengketakan.

Berdasarkan keadaan bahwa pada saat ini banyak terjadi sengketa di bidang  pertanahan, sehingga menuntut peran maksimal dan profesionalisme yang tinggi dari petugas Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor Pertanahan apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu:

- Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum;
- Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;
- Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.



REFERENSI

https://andrilamodji.wordpress.com/hukum/pengertian-tujuan-jenis-jenis-dan-macam-macam-pembagian-hukum/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pranata
https://hellowulandari.wordpress.com/2016/01/08/tugas-kelompok-hukum-dan-pranata-pembangunan-di-indonesia-dan-di-luar-negri/
http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-dan-fungsi-sertifikat-hak.html

Senin, 17 Juli 2017

OTONOMI DAERAH

PENGERTIAN OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

a.    Kewenangan Otonomi Luas

Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

b.    Otonomi Nyata

Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.

c.    Otonomi Yang Bertanggung Jawab

Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah yaitu :

Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.


DAERAH OTONOM

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.


HAKEKAT, TUJUAN, DAN PRINSIP OTONOMI DAERAH

a.    Hakekat Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)

b.    Tujuan Otonomi Daerah

Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
·       Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
·       Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
·       Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.

c.    Prinsip Otonomi Daerah

Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah :
1.       penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.
2.       Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.       pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas.
4.       Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
5.       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.
6.       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.
7.       Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.       Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.


IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH

Implementasi otonomi daerah bagi daerah tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat dikelompokkan dalam lima bidang yaitu implementasi dalam pembinaan wilayah, pembinaan sumber daya manusia, penanggulangan dan percepatan penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).

Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Wilayah

Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan tanggungjawab pemerintah pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan otonomi tanpa batas. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia itu satu eenheidstaat”, Indonesia tidak akan mempunyai daerah dengan status staat atau negara. Otonomi tidak dirancang agar suatu daerah memiliki sifat-sifat seperti suatu negara. Pemerintah pusat dalam kerangka otonomi masih melakukan pembinaaan wilayah. Pembinaan wilayah dapat diartikan bagaiman mengelola dan mengerahkan segala potensi wilayah suatu daerah untuk di dayagunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Potensi wilayah termasuk segala potensi sumber daya yang mencakup potensi kependudukan, sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan.

Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugas-tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Pada prinsipnya pembinaan wilayah diserahkan kepada daerah unuk mengelola sumber daya yang potensial untuk kesejahteraan daerah, dan dalam negara kesatuan, tugas pemerintah pusat melakukan pengawasan. Bentuk pengawasan dalam otonomi daerah adalah seluruh rancangan kegiatan dan anggaran daerah tingkat II dibuat kepala daerah dan DPRD II, serta diperiksa oleh gubernur. Untuk rencana kegiatan dan anggaran tingkat I, dibuat gubernur dan DPRD I, dan diperiksa oleh menteri dalam negeri atas nama pemerintah pusat.

Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah, memfasilitasi dan mengakomodasi kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan menjalankan kewenangan lain.

Pejabat pembina wilayah dilaksankan oleh kepala daerah yang menjalankan dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum.

Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia

Pelaksaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini tugas berat bagi daerah, karena SDM pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak maksimal. Menurut kaloh (2002) banyak faktor yang menyebabkan kinerja pegawai negeri sipil (PNS) rendah, yaitu: (a) adanya monoloyalitas PNS kepada satu partai pada zaman ORBA, sehingga mendorong PNS bermain politik praktis atau tersembunyi, (b) prose rekrutmen PNS masih tidak sesuai dengan ketentuan yang ada berdasarkan jenis dan persyaratan pekerjaan, (c) rendahnya tingkat kesejahteraan, (d) penempatan dan jenjang karir tidak berdasarkan jenjang karir dan bidang keahlian, dan (e) PNS terkesan kurang ramah, kurang informatif, dan lamban dalam memberikan pelayanan.

Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah membutuhkan PNS yang tanggap, responsip, kreatif, dan bekerja secara efektif.

Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat, pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan jaringan dan kerja sam tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.

Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat terobosan baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko, (4) memberikan penghargaan bagi yang berhasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif antar PNS, (6) membangu suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja profesional; dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.

Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat perencanaan, melaksanakan kerja denga pengawasan yang memadai, menentukan prioritas, memecahkan masalah dengan inoivatif, melakukan komunikasi lisan dan tulisan, melakukan hubungan antar pribadi, dan memperhatikan waktu kehadiran dan kretaivitas.

Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi. Pelayanan pemerintah sering kali banyak mengalami penyimpangan yang disebabkan sistem birokrasi, atau keinginan menambah penghasilan dari pegawai. Pemda harus melakukan perbaikan dengan: menegakan disiplin pegawai dengan memberikan penghargaan dan sanksi, memberikan pelayanan yang berorientasi pelanggan, menetapkan tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang bersih, serta memberikan pelayanan cepat dan tepat dengan biaya murah.

Implementasi Otonomi Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan

Masalah merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya.

Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor 25 tahun 1999, dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang cukup dari APBD. Pengentasan kemiskinan menggunakan prinsip: penegmbangan SDM dengan memberdayakan peranan wanita, membrdayakan dan memprmudah akses keluarga miski utuk berusaha, dengan mendekatkan pada modal dan pemasaran produknya, menanggulangi bencana, dan membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin.

Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan berdasarka karakter penduduk dan wilayah, dengan melakukan koordinasi antar-instansi yang terkait.

Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan ivestasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.

Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari pelaksana menjadi fasilitor, memberikan interuksi menjadi melayani, mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk mencapai misi pembangunan.

Dalam pemberdayan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu pengentasan kemiskinan.

Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter keluarga miskin, mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan intervensi kebijakan, yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui pendidikan dan pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja, dan menyediakan program untuk membangun lingkungan fisik masyarakat miskin, seperti prasarana jalan, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada tahap akhir pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan penanggulangan kemiskinan.

Implementasi Otonomi Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan Legislatif

Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD. Ketidakharmonisan dipicu oleh interprestasi dari UU nomor 22 tahun 1999, yang menyatakan peran legislatif lebih dominan dibandingkan peran pemda, dan hal ini bertentangan dengan kondisi sebelumnya, dimana pemda lebih dominan daripada DPRD.

Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemrintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.

Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 tahun 1994 adalah: (1) penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang hankam, luar negeri, peradilan, agama, mpneter, dan fiskal, (2) pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas teretentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.

Kepala daerah mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.

DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota, membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapatan belanja daerah, melaksankan pengawasan. Memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.

Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan komunikasi yang intensuf, baik untuk tukar menukar informasi, dan pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dengan kepala daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika.

Implikasi Otonomi Daerah dalam Membangun Kerja Sama Tim

Koordinasi merupakan maslah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperti PAM,PLN, dan Telkom menunjukan lemahnya koordinasi selama ini.
Dalam rangka otonomi, di mana pemda mempunyai wewenang mengatur enam bidang selain yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur sektir riil seperti transportasi, sarana/prasarana, pertanian, dan usaha kecil, serta wewenang lain yang ditentukan undang-undang.

Lemahnya koordinasi selam otonomi daerah telah menimbulkan dampak negatif, di antaranya: inefisiensi organisasi dan pemborosan uang, tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi pembangunan.

Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda antara lain karena sesama instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis, rendahnya kemauan kerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando, rendahnya keterampilan, integritas dan kepercayaan diri.

Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus menciptakan kerja sama tim. Kerja tim dilaksanakan dengan (1) pelatihan kepada PNS pemda untuk menumbuhkan komitmen, integritas, kejujuran, rasa hormat dan percaya diri, peduli terhadap pemerintah daerah, mempunyai kemauan dan tanggung jawab, matang secara emosi, dan mempunyai kompetensi, (2) mengembangkan visi dan misi pemerintahan daerah yang menjadi acuan kerja, (3) membuat sistem kerja yang baik, yaitu adanya kejelasan tugas pokok, fungsi dan akuntabilitas pekerjaan, dan (4) membangun suasana dialogis antar pimpinan dan staf pemda.

Terkait dengan implementasi otonomi daerah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan otonomi daerah, yaitu:

Meningkatkan kualitas SDM. Yang dapat dilakukan melalui:

·       Pelaksanaan seleksi PNS yang jelas, ketat, yang baik, serta berdasarkan pekerjaan dan spesifikasi lowongan pekerjaan.
·       Peningkatan kompetensi, keterampilan, dan sikap melalui pelatihan dan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah, serta mengevaluasi keefektifan program pendidikan dan pelatihan.
·       Penempatan PNS berdasarkan kompetensi, minat, dan bakat, serta kebutuhan pemerintah daerah.
·       Pengembangan SDM yang kreatif, inovatif, fleksibel, profesional, dan sinergis di pemda.
·       Menindaklanjuti ketentuan undang-undang tentang otonomi dengan peraturan daerah yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan, tanggung jawab, pembiayaan, SDM, dan sarana penunjang terhadap penugasan wewenang yang dilimpahkan pemerintah pusat.
·       Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
·       Mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif, objektif, rasional, dan modern.


PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN UU NO. 25 TAHUN 1999

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menuju kemandirian lokal, maka di dalam upaya mereform perundang-undangan tentang otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa nuansa dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Dengan demikian diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya, terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Sumber pembiayaan dalam rangka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sumber pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79 telah memberikan landasan yuridis tentang pemberian sumber pendapatan daerah dapat dibagi kedalam 4 golongan , yaitu :

1)      Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
(a)    Hasil pajak daerah
(b)   Hasil retribusi daerah
(c)    Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan   daerah yang dipisahkan, dan
(d)   Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.

2)      Dana perimbangan

3)      Pinjaman Daerah, dan

4)      Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79).

1.   Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Untuk mendorong efisiensi, maka Undang-Undang mengenai pajak dan retribusi ini (dikenal sebagai Undang-Undang PDRB) memberikan suatu penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi di masa lalu yang cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi yang tinggi. Berdasarkan Undang-Undang ini, jumlah pajak dan retribusi daerah relatif  berkurang.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :

a)   Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah;
b)   Peranannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah;
c)   Kemampuan perencanaan dan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah sehingga cenderung pemungutan pajak dibebani oleh biaya pungut yang besar.
d) Pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.

2.       Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Hal ini sejalan dengan tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,   yaitu memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menyangkut soal dana perimbangan, ditetapkan atas dasar perhitungan prosentase tertentu dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana perimbangan terdiri dari :

Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea  perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber  daya alam;
Dana Alokasi Umum; dan
Dana Alokasi Khusus.


a).  Bagi Hasil Penerimaan Negara

Bagi hasil penerimaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak yang dikenakan atas Bumi dan Bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Yang menjadi objek pajaknya adalah Bumi dan/atau bangunan. Pengertian Bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, sedangkan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dalam imbangan 10 % (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya 10 % (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian diatas dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
Alokasi pembagian ini didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan. Besarnya alokasi pembagian tersebut diatur sebagai berikut : Bahwa 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten dan Kota, kemudian 35 % (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan pada Tahun Anggaran sebelumnya.

Bea perolehyan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Tarif pajaknya adalah 5 % dari dasar pengenaan pajak yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Kemudian Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 80 % di atas di bagi untuk daerah dengahn rincian bahwa 16 % (enam belas persen) untuk daerah Provinsi yang bersangkutan disalurkan ke rekening Kas Daerah Provinsi, dan 64 % (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota untuk pemerataan 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan PBB dan 20 % (dua puluh persen) dari BPHTB.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian daerah dari penerimaan negara yang berasal dari pengtelolaan sumber daya alam, antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah.
Sedangkan Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
a)      Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85 % (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.

b)      Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70 % (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.


Bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut :
1)      Sektor Kehutanan dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).


2)      Sektor Pertambangan Umum dibagi sebagai berikut :
a)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) di bagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen)
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b)      80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (royalty) dibagi dengan perincian :
(a)    Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen);
(b)   Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c)    Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga puluh dua persen).

3)      Sektor Perikanan
Sebanyak 80 % (delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari :
a.       Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan
b.      Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Minyak Bumi diperinci sebagai berikut.
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 3 % (tiga persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6 % (enam persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen).
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Gas Alam dibagi dengan perincian sebagai berikut :
a)      Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen);
b)      Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12 % (dua belas persen);
c)      Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12 % (dua belas persen).
Lebih jauh pengaturan kedua sumber Penerimaan Negara ini yang menjadi porsi Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota. Dengan perkataan lain bahwa secara nominal kedua sumber penerimaan ini seluruhnya milik daerah, walaupun ada intervensi Pemerintah Pusat dalam skala yang relatif kecil sebagai penyangga keseimbangan penerimaan antar daerah.


Sumber penerimaan daerah dari bagi hasil memang secara explisit telah ditujukan gambaran nominalnya dalam bentuk persentase. Berdasarkan rumusan yang demikian posisi masing-masing daerah otonom sebetulnya pada pengkajian terukur terhadap sumber-sumber penerimaan. Melalui gambaran demikian, paling tidak setelah diberlakukannya Undang-Undang secara langsung dapat terdeteksi konstribusi penerimaan daerah otonom dari sumber-sumber ini dalam konteks fiskal daerah. Lebih jauh yang menjadi pertanyaan adalah melalui prinsip alokasi dana berdasarkan daerah penghasil seperti itu tentu akan sangat bervariatif dampaknya kepada masing-masing daerah otonom. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan seperti Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya, Aceh, dan lainnya tentu akan memiliki alokasi yang besar yang memang telah dijaminkan dalam Undang-Undang persentase keberadaannya. Bagi daerah yang “kurang” potensi sumber daya alam memang akan berdampak cukup serius pada posisi fiskal daerah, khususnya dari sisi penerimaan (revenue side-nya). Melalui Undanag-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kondisi yang demikian akan dikompensasi melalui dana perimbangan yang berupa alokasi umum, disamping juga dana alokasi khusus.


REFERENSI:
https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-politik/otonomi/implementasipelaksanaan-otonomi-daerah-di-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-otonomi-daerah-makalah.html