Selasa, 07 November 2017

KASUS SERTIFIKAT GANDA (BAB 3)



Tanah pada saat ini merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia.

Tidak sedikit korban yang jatuh karena mempersoalkan atau mempertahankan beberapa persegi tanah saja. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus di bidang pertanahan di Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan PertanahanNasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus.

Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah. Hal ini menyebabkan terkonsentrasinya penguasasan dan pemilikan tanah dalam hal luasan di pedesaan dan/atau jumlah bidang tanah di perkotaan, hanya pada sebagian kecil masyarakat. Di sisi lain persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil mencapai tujuannya.

Menurut Elza Syarief dalam bukunya yang berjudul “Menuntaskan Sengketa Tanah” mengemukakan pendapat bahwa, secara umum sengketa tanah timbul akibat faktor-faktor sebagai berikut:
1.    Peraturan yang belum lengkap;
2.    Ketidaksesuaian peraturan;
3.    Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
4.    Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
5.    Data tanah yang keliru;
6.    Keterbataan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
7.    Transaksi tanah yang keliru;
8.    Ulah pemohon hak atau
9.    Adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Sedangkan menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik Pertanahan” mengemukakan dua hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan secara khusus, sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

1.    Secara umum
       a. Faktor hukum

   Ø  Regulasi kurang memadai;
Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral, keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai substansinya.

   Ø  Tumpang tindih peradilan;
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu  sengketa tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya aparatur agrarian juga merupakan hal yang memicu timbulnya sengketa.

   Ø  Penyelesaian dan birokrasi berbelit-belit
Penyelesaian perkara lewat pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu penyelesaian yang lama apalagi bila terjebak dengan mafia peradilan, maka keadilan tidak berpihak pada yang benar. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah, karena kondisinya saat ini dalam berurusan dengan pengadilan tidaklah sederhana, birokrasi pengadilan yang berbelit-belit dan lama serta biaya yang mahal.

   Ø  Tumpang tindih peraturan
UUPA sebagai induk dari peraaturan sumber daya agrarian lainnya khususnya tanah, namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan drngan sumber daya agrarian tetapi tidak menenmpatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agrarian.

Struktur hukum agrarian menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundangan sektoral.

b. Faktor non hukum

   Ø  Tumpang tindih penggunaan tanah
Pertumbuhan penduduk yang  cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan berkurang akibat berubah fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang terus-menerus menyelenggarakan proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan jika sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul kepentingaan yang berbeda. Itulah mengapa pertumbuhan sengketa tanah yang terus menerus meningkat.

   Ø  Nilai ekonomis tanah yang tinggi
Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ni terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan menitikberatkan pada pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan rakyat.
Fungsi sosial tanahpun dikesampingkan karena semuanya berorientasi pada bisnis. Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara pemilik tanah dalam hal ini rakyat dengan para pemilik modal yang difasilitasi pemerintah.

   Ø  Kesadaran masyarakat meningkat
Perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan dengan sukarela dan cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacuh pada NJOP (nilai jual objek pajak). Belakangan masyarakat menuntut adanya penberian ganti rugi berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut pemberian kompensasi berupa pemukiman kembali yang lengkap dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tempat asal mereka yang dijadikan areal pembangunan.

   Ø  Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik lewat kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara luas lahan yang relatif tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian.

   Ø  Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.


Secara garis besar dapat ditarik beberapa hal yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan dan sertifikat ganda yaitu sebagai berikut:

1.) Kurangnya transparansi informasi mengenai kepemilikan tanah.
2.) Nilai tanah yang ekonomis dan tanah yang dijadikan masyarakat sebagai simbol eksistensi sosial bermasyarakat, sehingga setiap orang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya.
3.) Lemahnya regulasi padahal  sengketa pertanahan bersifat multidimensional.
4.) Tumpang tindihnya keputusan-keputusan yang dikeluarkan lembaga- lembaga negara yang berkepentingan mengenai kepemilikan hak atas tanah.
5.) Tafsiran dikalangan masyarakat yang salah mengartikan mana tanah adat atau memiliki hak ulayat dan mana yang merupakan tanah bukan milik adat atau tanah negara.
6.) Permasalahan land reform yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan.
7.) Serta adanya bencana alam yang menyebabkan rusaknya tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan bergesernya tanah setelah bencana.
8.) Dan yang paling kompleks adalah tidak dimanfaatkannya peta pendaftaran tanah dan sistem komputerisasi yang belum modern.
9.) Bahkan ketidakjujuran aparat desa dan pemohohon dalam hal ini pemilik lahan dalam memberikan informasi kepada BPN merupakan faktor utama. Itulah beberapa hal kecil penyebab timbulnya sengketa tanah dan sertifikat  ganda yang tentunya masih banyak hal  lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya hal itu.


Disisi lain, terjadinya sertifikat-sertifikat ganda mengakibatkan cacat hukum seperti sertifikat palsu dan sertifikat ganda dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan ekstern. 

 ØFaktor intern antara lain:

1.) Tidak dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
2.) Kurang berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3.) Ketidak telitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 ØFaktor ekstern antara lain:

1.) Masyarakat masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2.)  Persediaan tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3.) Pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah dari tanah pertanian ke non pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.


REFERENSI : 
http://thesis-hukum.blogspot.co.id/2015/02/penyelesaian-sengketa-tanah-dan.html