WAE REBO, FLORES,
NUSA TENGGARA TIMUR
Wae Rebo adalah sebuah kampung
tradisional yang terletak di dusun terpencil tepatnya di Kabupaten Manggarai
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terkenal dengan sebutan kampung di atas awan, Wae
Rebo terletak di ketinggian 1000 mdpl dikelilingi oleh perbukitan yang
sangatlah asri. Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada
Agustus 2012 menyisihkan 42 negara lain.
- Sejarah
Nenek moyang suku wae rebo disebut
Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah
turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur mereka berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali
Semula leluhur Maro tinggal di
Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah
pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang
menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging
musang. Masyarakat menyebutnya kula.
Bagi masyarakat setempat, daging
musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae
Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya,
sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan
membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat,
tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain
tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada
tengah malam itu muncul musang di rumah Maro. ”Maro pun berucap, kalau musang
membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk,
diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk
jalan ke tempat yang aman bagi Maro
Musang menuntun warga Maro
mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat
kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang.
Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
Di Golo Pandu, Maro bermimpi
bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang
ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari
Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
- Rumah Adat Mbaru Niang
Rumah adat Mbaru Niang adalah
contoh karya arsitektur vernakular yang unik, rumah berbentuk kerucut ini mirip
seperti rumah Honai di Papua dan cukup mirip dengan rumah adat di Tanjania,
Afrika. Atapnya ditutupi daun lontar, dari atas hingga ke bawah dan hampir
menyentuh tanah, Tingginya mencapai 15 m dengan pembagian beberapa lantai.
- Tata Ruang
Rumah adat Mbaru
Niang secara tata ruang vertikal terbagi atas
5 lantai. Setiap level lantainya mempunyai nama dan fungsinya
masing-masing yaitu :
1.
Lantai pertama (lantai dasar) disebut lutur yang
dipakai sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur
dibagi tiga, bagian depan ruangan untuk bersama, seperti ruang keluarga. Di
bagian dalam adalah kamar-kamar yang dipisahkan dengan papan, sementara dapur
ada di bagian tengah rumah.
2.
Lantai kedua merupakan loteng atau disebut lobo
berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
3.
Lantai ketiga dinamakan lentar yaitu tempat
untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan
kacang-kacangan
4.
Lantai keempat disebut lempa rae yang digunakan
untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
5.
Lantai kelima disebut dengan hekang kode sebagai
tempat untuk sesajian persembahan kepada leluhur.
Setiap rumah
adat Mbaru Niang memiliki dua pintu, yaitu di depan, di belakang. Selain itu
juga terdapat empat jendela kecil. Pintu depan setiap rumah adat dibangun
menghadap ke compang. Compang adalah titik pusat Kampung Wae Rebo yang berada
di batu melingkar di depan rumah utama. Compang dipakai sebagai pusat kegiatan
warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur dan Tuhan.
- Struktur dan Konstruksi
Rumah adat Mbaru
Niang strukturnya terdiri dari 5 lantai yang memiliki fungsi tertentu. Tiang
utama dibuat dari bahan kayu Worok, papan lantai dibuat dari kayu Ajang,
sementara untuk balok-balok struktur rumah menggunakan kayu Uwu.
Rangka atap
rumah dibuat dari bambu, ada juga yang dibuat dari kayu yang berukuran 1 cm,
yaitu kayu kentil. Kayu-kayu ini dirangkai membentuk ikatan-ikatan panjang,
yang kemudian diikatkan secara horizontal membentuk lingkaran pada setiap
tingkatan lantai rumah.
Proses
pembangunan rumah adat ini dimulai dengan meletakan tiang utama pada lantai
dasar yang dimasukan sekitar 1,50 sampai 2.00 meter ke dalam tanah. Supaya
tiang utama ini tidak cepat lapuk, tiang ini dilapisi ijuk. Lantai dasar rumah
ini dibuat seperti panggung, tingginya sekitar 1.20 m dari permukaan tanah.
Tahap
selanjutnya adalah pemasangan balok-balok lantai dan langkah yang sama
dilakukan hingga lantai yang terakhir. Tiang disetiap tingkat lantainya
ternyata tidak menerus, namun terputus disetiap tingkat lantainya. Setelah
setiap lantainya berbentuk lingkaran, proses selanjutnnya yaitu memasang rangka
atap atap yang terbuat dari bambu. Rumah ini menggunakan bahan rotan sebagai
bahan balok-balok strukturnya.
- Konservasi Arsitektur
Kampung Waerebo
yang asli terdiri dari 7 rumah tradisional. Namun di tahun 2008, hanya ada 4
rumah tradisional yang tersisa. 3 rumah tradisional lainnya telah digantikan
dengan bentuk yang berbeda.
Selain 4 rumah
yang tersisa, 2 di antaranya tidak pada kondisi yang baik karena sudah
digunakan 17 tahun, ketika dua lainnya telah direkonstruksi sekitar 1998 oleh
bantuan beberapa donator.
Para tim juga
berkesempatan melakukan pembangunan rumah di Waerebo yang otentik tersebut. Tim
ini melibatkan dua mahasiswa yang diberi beasiswa untuk 5 minggu tinggal
disana, tanpa alat komunikasi elektronik dan tanpa kontak dengan kehidupan
luar. Dua orang mahasiswa ini saat pagi membantu para warga untuk membangun
rumah sedangkan di malam hari mencatat dan membuatnya menjadi sebuah laporan
yang sistematis tentang pembuatan rumah tersebut. Mahasiswa tersebut tidak
hanya dianggap tamu tetapi sudah dianggap bagian dari keluarga Waerebo oleh
para warganya. Setelah 5 bulan tinggal, para warga memberi setifikat kelulusan
bagi mereka dan melakukan upacara adat perpisahan.
Di dalam
pembangunan project terakhir dari Mei 2009 sampai Mei 2011, terdiri dari 3 fase
1. Fase Pertama
(Mei 2009-Oktober 2009), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan
rekonstruksi Tirta Gena Ndorom
2. Fase Kedua
(November 2009-Mei 2010), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan
rekonstruksi Tirta Gena Jekong
3. Fase Ketiga
(November 2010-Mei 2011), rekonstruksi 3 rumah kerucut lainnya. Dua di
antaranya digunakan sebagai rumah warga (Laksamana Gena Jintam dan Panigoro
Gena Mandok), ketika satu lainnya digunakan sebagai guest house dengan rumah kerucut yang lebih kecil yang
disandingkan dengan yang lain sebagai dapur terpisah (Tirta Gena Maro)
4. Fase Keempat,
setelah kampung tersebut selesai terbangun 7 rumah tradisionalnya, beberapa
pengembangangan dibuat untuk turis potensial mereka, seperti taman bacaan untuk
anak-anak, rebrading sovernir khas Waerebo, dan adanya guest house baru.
Semua fasilitas
tambahan yang baru dibangun di luar lingkaran urama dari 7 rumah tradisional
tersebut.
REFERENSI