Tanah pada saat ini merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia.
Tidak sedikit korban yang jatuh karena mempersoalkan atau
mempertahankan beberapa persegi tanah saja. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus
di bidang pertanahan di Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja,
jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan PertanahanNasional (BPN) Republik
Indonesia meningkat lima ribu kasus.
Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan
tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan
tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat
merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah. Hal ini
menyebabkan terkonsentrasinya penguasasan dan pemilikan tanah dalam hal luasan
di pedesaan dan/atau jumlah bidang tanah di perkotaan, hanya pada sebagian kecil
masyarakat. Di sisi lain persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada
akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek
administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil
mencapai tujuannya.
Menurut Elza Syarief dalam bukunya yang berjudul
“Menuntaskan Sengketa Tanah” mengemukakan pendapat bahwa, secara umum sengketa
tanah timbul akibat faktor-faktor sebagai berikut:
1. Peraturan yang
belum lengkap;
2. Ketidaksesuaian
peraturan;
3. Pejabat
pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang
tersedia;
4. Data yang kurang
akurat dan kurang lengkap;
5. Data tanah yang
keliru;
6. Keterbataan
sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
7. Transaksi tanah
yang keliru;
8. Ulah pemohon hak
atau
9. Adanya
penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Sedangkan menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik
Pertanahan” mengemukakan dua hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu
sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan secara khusus,
sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
1. Secara umum
a. Faktor hukum
Ø
Regulasi kurang memadai;
Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada
nilai-nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral,
keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum kerap kali
berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai
substansinya.
Ø
Tumpang tindih peradilan;
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat
menangani suatu sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana,
serta Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu sengketa tertentu, salah satu pihak yang
menang secara perdata belum tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya
aparatur agrarian juga merupakan hal yang memicu timbulnya sengketa.
Ø
Penyelesaian dan birokrasi berbelit-belit
Penyelesaian perkara lewat pengadilan di Indonesia
melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu penyelesaian yang lama apalagi bila
terjebak dengan mafia peradilan, maka keadilan tidak berpihak pada yang benar.
Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang
sederhana, cepat, dan berbiaya murah, karena kondisinya saat ini dalam
berurusan dengan pengadilan tidaklah sederhana, birokrasi pengadilan yang
berbelit-belit dan lama serta biaya yang mahal.
Ø
Tumpang tindih peraturan
UUPA sebagai induk dari peraaturan sumber daya agrarian
lainnya khususnya tanah, namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan drngan sumber daya agrarian tetapi tidak
menenmpatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan
UUPA sejajar dengan undang-undang agrarian.
Struktur hukum agrarian menjadi tumpang tindih. UUPA yang
awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi
tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan
diterbitkannya peraturan-peraturan perundangan sektoral.
b. Faktor non hukum
Ø
Tumpang tindih penggunaan tanah
Pertumbuhan penduduk yang
cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan
berkurang akibat berubah fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang
terus-menerus menyelenggarakan proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan jika
sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul kepentingaan yang berbeda.
Itulah mengapa pertumbuhan sengketa tanah yang terus menerus meningkat.
Ø
Nilai ekonomis tanah yang tinggi
Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi.
Hal ni terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan
pemerintah dengan menitikberatkan pada pembangunan. Pemerintah orde baru
menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak
lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat,
melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang
bahkan kebijakan itu sangat merugikan rakyat.
Fungsi sosial tanahpun dikesampingkan karena semuanya
berorientasi pada bisnis. Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan
sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara pemilik tanah dalam hal ini
rakyat dengan para pemilik modal yang difasilitasi pemerintah.
Ø
Kesadaran masyarakat meningkat
Perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu
pengetahuan & teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat.
Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan
tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat
terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber
produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau
komoditas ekonomi.
Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah
untuk pembangunan kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan
dengan sukarela dan cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacuh pada NJOP (nilai
jual objek pajak). Belakangan masyarakat menuntut adanya penberian ganti rugi
berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut pemberian
kompensasi berupa pemukiman kembali yang lengkap dengan fasilitas yang kurang
lebih sama dengan tempat asal mereka yang dijadikan areal pembangunan.
Ø
Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik lewat kelahiran
maupun migrasi serta urbanisasi, sementara luas lahan yang relatif tetap,
menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi,
sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian.
Ø
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan pertanahan, masyarakat
miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.
Secara garis besar dapat ditarik beberapa hal yang
menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan dan sertifikat ganda yaitu sebagai
berikut:
1.) Kurangnya
transparansi informasi mengenai kepemilikan tanah.
2.) Nilai tanah yang
ekonomis dan tanah yang dijadikan masyarakat sebagai simbol eksistensi sosial
bermasyarakat, sehingga setiap orang menggunakan segala cara untuk
mempertahankannya.
3.) Lemahnya
regulasi padahal sengketa pertanahan
bersifat multidimensional.
4.) Tumpang
tindihnya keputusan-keputusan yang dikeluarkan lembaga- lembaga negara yang
berkepentingan mengenai kepemilikan hak atas tanah.
5.) Tafsiran
dikalangan masyarakat yang salah mengartikan mana tanah adat atau memiliki hak
ulayat dan mana yang merupakan tanah bukan milik adat atau tanah negara.
6.) Permasalahan
land reform yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan.
7.) Serta adanya
bencana alam yang menyebabkan rusaknya tanda bukti kepemilikan hak atas tanah
dan bergesernya tanah setelah bencana.
8.) Dan yang paling
kompleks adalah tidak dimanfaatkannya peta pendaftaran tanah dan sistem
komputerisasi yang belum modern.
9.) Bahkan
ketidakjujuran aparat desa dan pemohohon dalam hal ini pemilik lahan dalam
memberikan informasi kepada BPN merupakan faktor utama. Itulah beberapa hal
kecil penyebab timbulnya sengketa tanah dan sertifikat ganda yang tentunya masih banyak hal lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya hal
itu.
Disisi lain, terjadinya sertifikat-sertifikat ganda
mengakibatkan cacat hukum seperti sertifikat palsu dan sertifikat ganda
dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan ekstern.
ØFaktor intern antara lain:
1.) Tidak
dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara
konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
2.) Kurang
berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat
bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3.) Ketidak
telitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu
dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti
dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi
persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
ØFaktor ekstern antara lain:
1.) Masyarakat masih
kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan khususnya
tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2.) Persediaan tanah
tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3.) Pembangunan
mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah
sangat terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah dari tanah pertanian
ke non pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.
REFERENSI :
http://thesis-hukum.blogspot.co.id/2015/02/penyelesaian-sengketa-tanah-dan.html