Senin, 17 Juni 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR ASIA


                               KAWASAN KONSERVASI BAGAN, MYANMAR

  •  Sejarah
Bagan, sebelumnya Pagan, adalah kota kuno di Divisi Mandalay, Myanmar pada abad ke-9 sampai abad ke-13, sebelumnya dijuluki Arimaddanapura atau Arimaddana dan juga disebut Tambadipa atau Tassadessa. Kota ini merupakan ibu kota Kerajaan Pagan di Burma, kerajaan pertama yang menyatukan wilayah-wilayah yang membuat konstitusi modern Myanmar. Selama Kerajaan-kerajaan berdiri bersamaan pada abad ke-11 dan abad ke-13, Lebih dari 10,000 kuil-kuil Buddha, Pagoda-pagoda dan biara-biara yang membangun Bagan, yang mana lebih dari 2200 kuil dan pagoda masih berdiri sampai dengan saat ini. Daerah Arkeologi Bagan merupakan tujuan utama wisatawan dan sebagai pariwisata utama di Myanmar. Hal ini terlihat dari banyaknya wisatawan tertarik ke Angkor Wat di Kamboja.
BAGAN kota seribu kuil yang berada di Myanmar merupakan salah satu situs arkeologi terkaya di Asia Tenggara. Myanmar yang terkenal akan sebutan negeri seribu candi, demikian sebutannya karena adanya ribuan candi yang berada di negara yang dulunya dikenal dengan sebutan negara Burma. Bagan sebuah kota kuno yang berada di wilayah Mandalay Burma (Myanmar) dihiasi dengan pemandangan ribuan candi – candi tua dengan berbagai ukuran, ribuan pagoda kuno, stupa, kuil, aula pentahbisan dan monumen. Kuil Bagan adalah salah satu situs arkeologi terkaya di Asia Tenggara. Berbeda dengan candi – candi lainnya di kawasan Asia, kota seribu kuil ini memiliki 2 ciri khas warna, yaitu warna putih dan warna merah bata. Candi di Bagan berukuran cukup besar karena digunakan sebagai tempat pemujaan dan mempresentasikan Gunung Meru, salah satu simbol Dewa dan dibangun sebagai tempat ibadah dan belajar bagi para pengikut ajaran Budha dari kawasan Asia, termasuk India, selama kurang lebih 5 abad sejak awal didirikan. Destinasi wisata di Kota Bagan yang menarik minat wisatawan antara lain adalah Htilominlo, Shwedagon Pagoda, Mandalay Palace, serta Danau Inle yang eksotis,  antara lain :
  1. Ananda Temple, candi yang selesai dibangun pada tahun 1091 tahun masehi oleh raja Kyanzittha ini memiliki tinggi 51 meter. Pada tahun 1990 Candi Ananda Temple ini menerima penyepuhan emas. Terdapat empat patung besar dari para Buddha dari empat zaman. Kakusandha menghadap ke utara, Konagamana menghadap ke timur, Kassapa menghadap ke selatan, dan Guatama sebagai Buddha terbaru menghadap ke barat.
  2. Raja Narapatisithu membangun candi Gawdawpalin pada abad ke 12 dengan tinggi candi sekitar 60 meter. Candi ini rusak parah dalam sebuah gempa bumi pada tahun 1975 tetapi sudah mengalami rekonstruksi.
  3. Dhammayangyi adalah kuil terbesar di Kota Bagan yang dibangun oleh raja Narathu yang memerintah pada tahun 1167-1170. Kuil ini sering disebut sebagai kuil ganesh karena terdapat gambar gajah yang merupakan dewa hindu. Kuil ini bernama Shwesandaw yang dibangun pada tahun 1057 oleh raja Anawahta.
Candi yang menjadi replika mirip candi Bodhi yang terkenal di Bodh Gaya, India ini bernama candi Mahabodhi. Dibangun oleh raja Nantaungmya pada masa pemerintahan 1210-1234. Bukan hanya itu, adapun candi, pagoda dan tempat bersejarah lainnya yang terdapat di kota ini diantaranya Bupaya Pagoda, Dhammayangyi Temple, Dhammayazika Pagoda, Gawdawpalin Temple, Gubyaukgyi Temple (Wetkyi-in), Gubyaukgyi Temple (Myinkaba), Htilominlo Temple, Lawkananda Pagoda, Mahabodhi Temple, Manuha Temple, Mingalazedi Pagoda, Minyeingon Temple, Myazedi inscription, Nanpaya Temple, Nathlaung Kyaung Temple, Payathonzu Temple, Seinnyet Nyima Pagaoda and Seinnyet Ama Pagoda, Shwegugyi Temple, Shwesandaw Pagoda, Shwezigon Pagoda, Sulamani Temple, Tharabha Gate, Thatbyinnyu Temple dan Tuywindaung Pagoda.
Pagoda Shwe Zi Gon adalah pagoda yang terbuat dari emas dan merupakan salah satu pagoda tertua dan terbesar yang terletak di pusat kota Yangon. Shwedagon juga terkenal dengan sebutan Golden Pagoda karena nuansa emas yang mendominasi warna bangunannya.
Salah satu candi yang terkenal di bagan  adalah candi Htilominlo. Candi ini dibangun pada abad ke-13 dan terlihat megah tak dilekang waktu. Di dalam bangunan utama, terdapat patung Budha sebagai tempat ibadah para pengikut ajaran Budha. Di belakangnya terdapat kompleks candi sebagai bagian dari candi Htilominlo.

  • Perbandingan Bagan lama dan Bagan baru
a.) Bagan lama

Kota Bagan sesungguhnya terbagi dari 2 bagian. Bagan kota lama dan Bagan kota baru. Dulunya semua pemukiman berada didaerah kota lama dimana terdapat stupa-stupa tersebut. Tahun 90’an, mereka dipindahkan ke Bagan baru (New Bagan) untuk menjadi pemukiman baru. Bagan lama (Old Bagan) daerah dengan dikelilingi pusat pemerintahan dan beberapa stupa disekitarnya. Beberapa hotel dan pertokoan juga kita temukan didaerah ini.




b.) Bagan Baru

Bagan baru merupakan daerah yang di fungsikan sebagai daerah pemukiman, dan beberapa hotel yang ditawarkan sebagai penginapan. Area ini tidak ramai oleh turis dan di dominasi oleh warga lokal.




Terdapat pula kuil ananda pada Bagan baru. Kuil Ananda juga menarik untuk diamati mural yang ada dibeberap dindingnya. Muralnya masih terjaga dengan baik. Dikatakan oleh Thein bahwa kuil Ananda dibangun pada masa awal-awal dinasti Pagan yang ada di Bagan, mungkin sekitaran abad 1100. Kuil Ananda memiliki 4 patung Buddha warna keemasan disetiap sisi penjuru mata angin, dengan posisi tangannya yang berbeda.



Kemudian kita juga bisa ke kuil  Thatbyinnyu dikenal sebagai kuil kemahatahuan dan berasal dari 1144 Masehi. Kuil yang cukup tinggi dengan tinggi sekitaran 60’an meter. Lalu kita ke  kuil terbesar Damayangyi, yang terkenal dengan struktur bangunannya yang unik mirip piramida. Candi ini dibangun  tahun 1170 Masehi.



Lalu tidak ketinggalan ke candi  Nanphaya. Candi ini sangat unik karena merupakan candi Hindu ditengah candi-candi dan stupa Buddha.  Sayang kalau dilewatkan. Dan hari itu kami akhiri dengan berkunjung ke candi  Shwensandow untuk melihat sunset di sepanjang sungai Ayeyeawaddy.







Pagoda di mount Popa sendiri sangat unik. Pagoda ini persis berdiri diatas bukit kapur, yang berdiri tegak. Untuk menaikinya, kita perlu menapak, yang konon jumlah ada sekitar 700 tangga hingga sampai ke atas.  Yang menarik dari pagoda Mount Popa ini adalah ternyata didalamnya tidak ditemukannya patung Buddha, seperti biasanya yang saya temui di Bagan. Yang ada adalah rupa patung seseorang, berambut panjang, nampak tidak seperti Buddha. Disertai pula dengan banyak tempelan uang, disekitarnya. Rupanya pertanyaan saya terjawab. Pagoda atau kuil ini sesungguhnya adalah kuil pemujaan atas seseorang lokal yang dianggap penting.

Refrensi :
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Bagan
  • https://debbychintyatari.wordpress.com/2016/06/08/konservasi-arsitektur-di-asia-tenggara-kawasan-konservasi-bagan-myanmar/

Senin, 22 April 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR INDONESIA


WAE REBO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR


Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional yang terletak di dusun terpencil tepatnya di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terkenal dengan sebutan kampung di atas awan, Wae Rebo terletak di ketinggian 1000 mdpl dikelilingi oleh perbukitan yang sangatlah asri. Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012 menyisihkan 42 negara lain.

  •  Sejarah




Nenek moyang suku wae rebo disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali

Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.

Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.

Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro. ”Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro

Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.

Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.


  •  Rumah Adat Mbaru Niang


Rumah adat Mbaru Niang adalah contoh karya arsitektur vernakular yang unik, rumah berbentuk kerucut ini mirip seperti rumah Honai di Papua dan cukup mirip dengan rumah adat di Tanjania, Afrika. Atapnya ditutupi daun lontar, dari atas hingga ke bawah dan hampir menyentuh tanah, Tingginya mencapai 15 m dengan pembagian beberapa lantai.


  • Tata Ruang

Rumah adat Mbaru Niang secara tata ruang vertikal terbagi atas  5 lantai. Setiap level lantainya mempunyai nama dan fungsinya masing-masing yaitu :

1.       Lantai pertama (lantai dasar) disebut lutur yang dipakai sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan untuk bersama, seperti ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar yang dipisahkan dengan papan, sementara dapur ada di bagian tengah rumah.

2.       Lantai kedua merupakan loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari

3.       Lantai ketiga dinamakan lentar yaitu tempat untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan

4.       Lantai keempat disebut lempa rae yang digunakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,

5.       Lantai kelima disebut dengan hekang kode sebagai tempat untuk sesajian persembahan kepada leluhur.

Setiap rumah adat Mbaru Niang memiliki dua pintu, yaitu di depan, di belakang. Selain itu juga terdapat empat jendela kecil. Pintu depan setiap rumah adat dibangun menghadap ke compang. Compang adalah titik pusat Kampung Wae Rebo yang berada di batu melingkar di depan rumah utama. Compang dipakai sebagai pusat kegiatan warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur dan Tuhan.


  • Struktur dan Konstruksi


Rumah adat Mbaru Niang strukturnya terdiri dari 5 lantai yang memiliki fungsi tertentu. Tiang utama dibuat dari bahan kayu Worok, papan lantai dibuat dari kayu Ajang, sementara untuk balok-balok struktur rumah menggunakan kayu Uwu.

Rangka atap rumah dibuat dari bambu, ada juga yang dibuat dari kayu yang berukuran 1 cm, yaitu kayu kentil. Kayu-kayu ini dirangkai membentuk ikatan-ikatan panjang, yang kemudian diikatkan secara horizontal membentuk lingkaran pada setiap tingkatan lantai rumah.


  
Proses pembangunan rumah adat ini dimulai dengan meletakan tiang utama pada lantai dasar yang dimasukan sekitar 1,50 sampai 2.00 meter ke dalam tanah. Supaya tiang utama ini tidak cepat lapuk, tiang ini dilapisi ijuk. Lantai dasar rumah ini dibuat seperti panggung, tingginya sekitar 1.20 m dari permukaan tanah.

Tahap selanjutnya adalah pemasangan balok-balok lantai dan langkah yang sama dilakukan hingga lantai yang terakhir. Tiang disetiap tingkat lantainya ternyata tidak menerus, namun terputus disetiap tingkat lantainya. Setelah setiap lantainya berbentuk lingkaran, proses selanjutnnya yaitu memasang rangka atap atap yang terbuat dari bambu. Rumah ini menggunakan bahan rotan sebagai bahan balok-balok strukturnya.


  • Konservasi Arsitektur



Kampung Waerebo yang asli terdiri dari 7 rumah tradisional. Namun di tahun 2008, hanya ada 4 rumah tradisional yang tersisa. 3 rumah tradisional lainnya telah digantikan dengan bentuk yang berbeda.

Selain 4 rumah yang tersisa, 2 di antaranya tidak pada kondisi yang baik karena sudah digunakan 17 tahun, ketika dua lainnya telah direkonstruksi sekitar 1998 oleh bantuan beberapa donator.

Meskipun beberapa warga ingin membangun kembali rumah tradisional tersebut, mereka menunda untuk melaksanakannya karena beberapa kebutuhan warga akan kehidupan sehari-hari untuk bekerja sama untuk mendirikan bangunan. Setelah merencanakan konservasi, para warga sedang bersiap-siap untuk kehilangan dua lagi rumah tradisionalnya.

Para tim juga berkesempatan melakukan pembangunan rumah di Waerebo yang otentik tersebut. Tim ini melibatkan dua mahasiswa yang diberi beasiswa untuk 5 minggu tinggal disana, tanpa alat komunikasi elektronik dan tanpa kontak dengan kehidupan luar. Dua orang mahasiswa ini saat pagi membantu para warga untuk membangun rumah sedangkan di malam hari mencatat dan membuatnya menjadi sebuah laporan yang sistematis tentang pembuatan rumah tersebut. Mahasiswa tersebut tidak hanya dianggap tamu tetapi sudah dianggap bagian dari keluarga Waerebo oleh para warganya. Setelah 5 bulan tinggal, para warga memberi setifikat kelulusan bagi mereka dan melakukan upacara adat perpisahan.



Di dalam pembangunan project terakhir dari Mei 2009 sampai Mei 2011, terdiri dari 3 fase

1. Fase Pertama (Mei 2009-Oktober 2009), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan rekonstruksi Tirta Gena Ndorom

2. Fase Kedua (November 2009-Mei 2010), pembongkaran rumah kerucut tradisional dan rekonstruksi Tirta Gena Jekong

3. Fase Ketiga (November 2010-Mei 2011), rekonstruksi 3 rumah kerucut lainnya. Dua di antaranya digunakan sebagai rumah warga (Laksamana Gena Jintam dan Panigoro Gena Mandok), ketika satu lainnya digunakan sebagai guest house  dengan rumah kerucut yang lebih kecil yang disandingkan dengan yang lain sebagai dapur terpisah (Tirta Gena Maro)

4. Fase Keempat, setelah kampung tersebut selesai terbangun 7 rumah tradisionalnya, beberapa pengembangangan dibuat untuk turis potensial mereka, seperti taman bacaan untuk anak-anak, rebrading sovernir khas Waerebo, dan adanya guest house baru.

Semua fasilitas tambahan yang baru dibangun di luar lingkaran urama dari 7 rumah tradisional tersebut.


REFERENSI 

Senin, 25 Maret 2019

KONSERVASI ARSITEKTUR JABODETABEK

MUSEUM JOANG 45 MENTENG




Gedung Joang '45 atau Museum Joang 45 adalah salah satu museum yang berada di Jakarta. Saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon SirihKecamatan MentengJakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974 oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

  • Sejarah Bangunan 
1.) Masa pendudukan belanda

Gedung yang dibangun pada sekitar tahun 1920-an yang saat ini dipergunakan sebagai Museum Joang 45 ini pada mulanya adalah hotel yang dikelola oleh keluarga “L.C. Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia. Hotel ini diberi nama Schomper sesuai nama pemiliknya. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.

Bangunan kamar penginapan yang tersisa saat ini tinggal beberapa yang ada di sisi utara gedung utama, saat ini dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang kreativitas anak (children room) dan kantor Wirawati Catur Panca.

2.) Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel tersebut diambil alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh seorang Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan program pendidikan politik yang dimulai pada tahun 1942 untuk mendidik pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.

  • Koleksi 



Di museum ini dapat dilihat jejak perjuangan kemerdekaan RI dengan koleksi benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya adalah mobil dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang dikenal dengan mobil REP 1 dan REP 2, dan Mobil Peristiwa Pemboman di Cikini. Selain itu ada pula koleksi foto-foto dokumentasi dan lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950-an. Beberapa tokoh perjuangan ditampilkan pula dalam bentuk patung-patung dada.

  • Aktivitas

Museum Joang 45 terbuka untuk umum dalam aktivitasnya, pengunjung atau peserta aktivitas dapat mendaftarkan diri untuk dapat terlibat dalam aktivitas museum. Dalam hal ini Museum Joang 45 bertindak sebagai Fasilitator. Beberapa aktivitas Museum yang terus dikembangkan diantaranya: 

Aktivitas Reguler:

- Penyuluhan Permuseuman
- Pameran dan Diskusi
- Partisipasi Jabodetabek dan Dalam Daerah dll

Aktivitas Temporer:

- Pekan Museum Joang, terbuka untuk umum (Lomba Pidato, Lomba Puisi, Lomba Melukis, Lomba Mewarnai, Lomba Sejarah dan Budaya)
- Napak Tilas Proklamasi
- Pameran Temporer, Pameran Keliling.

  • Fasilitas Museum
Fasilitas yang tersedia bagi pengunjung Museum Joang '45 adalah

- Ruang Pameran Tetap dan Temporer dengan pojok multi media,
- Bioskop Joang 45, Studio penayangan film-film dokumenter dan film perjuangan lama.
- Perpustakaan referensi sejarah ilmiah, dilengkapi komik-komik perjuangan untuk bacaan anak,
- Childrenroom, ruang khusus untuk kreativitas anak dilengkapi game komputer pahlawan, mewarnai, puzzle, dan permainan knock-down,
- Foto Studio, menyediakan kostum para pejuang untuk dikenakan pengunjung dan foto instan.
- Souvenir Shop.
- Plaza untuk aktivitas outdoor berupa Teater Anak.


  • Konservasi Bangunan



Merupakan bangunan museum yang fungsi mulanya pada saat pertama dibangun ialah hotel, yang dikelola oleh seorang berkebangsaan Belanda. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.




Bangunan ini bergaya klasik Belanda yang dicampur dengan budaya etnik Batavia, bisa dilihat dari penggunaan reiling dengan ornament, lisplang, juga penopang atap yang menempel pada tiang.




Pengunaan jendela kotak-kotak dengan teralis bunga didalamnya dan pintu kayu klasik yang tinggi dengan lubang-lubang ventilasi disisi daun pintunya.



Bentuk ornament melengkung yang merupakan unsur dari budaya Batavia terlihat pada tiang penopang atap. Penggunaan tiang tinggi kolom klasik yang merupakan symbol kekokohan dan kemegahan bangunan klasik.



Kini konservasi terhadap gedung joang 45 ini tetap berlangsung secara berkala untuk selalu menjaga kondisi bangunan agar selalu dalam kondisi yang baik sehingga peninggalan sejarah indonesia ini dapat selalu berdiri dengan kokoh.



Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Joang_'45
https://www.antarafoto.com/peristiwa/v1256636940/konservasi-gedung-joang
https://nuryuwandalinda.wordpress.com/2016/06/30/konservasi-arsitektur-kawasan-menteng/
http://ilhamsulthony.blogspot.com/2018/05/konservasi-arsitektur-bab-3-gambaran.html









Senin, 11 Maret 2019

TEORI KONSERVASI ARSITEKTUR


v  PENGERTIAN KONSERVASI

Theodore Roosevelt (1902) merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi yang berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian tentang upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use).
Pada awalnya konsep konservasi terbatas pada pelestarian bendabenda/monumen bersejarah (biasa disebut preservasi). Namun konsep konservasi tersebut berkembang, sasarannya tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda bersejarah melainkan pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi.
Menurut Sidharta dan Budihardjo (1989), konservasi merupakan suatu upaya untuk melestarikan bangunan atau lingkungan, mengatur penggunaan serta arah perkembangannya sesuai dengan kebutuhan saat ini dan masa mendatang sedemikian rupa sehingga makna kulturalnya akan dapat tetap terpelihara.
Menurut Danisworo (1991), konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya. Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dari aspek proses disain perkotaan (Shirvani, 1985), konservasi harus memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang merupakan tempat bangunan atau kawasan bersejarah dan juga aktivitasnya.
Konservasi dengan demikian sebenarnya merupakan pula upaya preservasi namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya. Dengan kata lain konservasi suatu tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.


v  JENIS – JENIS KONSERVASI

Dalam pelaksanaan konservasi terhadap kawasan/ bangunan cagar budaya, maka ada tindakan-tindakan khusus yang harus dilakukan dalam setiap penanganannya (Burra Charter, 1999), antara lain:
  1. Konservasi yaitu semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat sedemikian rupa sehingga mempertahankan nilai kulturalnya
  2. Preservasi adalah mempertahankan bahan dan tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat pelapukan
  3. Restorasi / Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti sediakala dengan membuang elemen-elemen tambahan serta memasang kembali elemen-elemen orisinil yang telah hilang tanpa menambah bagian baru
  4. Rekonstruksi yaitu mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula sebagaimana yang diketahui dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru dan dibedakan dari restorasi
  5. Adaptasi / Revitalisasi adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang sesuai
  6. Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.


v  TABEL JENIS KEGIATAN DAN TINGKAT PERUBAHAN

No.
Jenis Kegiatan
Tingkat Perubahan
Tidak Ada
Sedikit
Banyak
Total
1
Konservasi
v
v
v
v
2
Preservasi
v
3
Restorasi
v
v
4
Rekonstruksi
v
v
5
Adaptasi/
Revitalisasi
v
6
Demolisi
v
Danisworo (Konseptualisasi Gagasan dan Upaya Penanganan Proyek Peremajaan Kota, ITB, 1988)


v  TUJUAN KONSERVASI

Menurut David Poinsett, Preservation News (July, 1973. p5-7), keberadaan preservasi objek-objek bersejarah biasanya mempunyai tujuan :

  1. Pendidikan
Peninggalan objek-objek bersejarah berupa benda-benda tiga dimensi akan memberikan gambaran yang jelas kepada manusia sekarang, tentang masa lalu, tidak hanya secara fisik bahkan suasana dan semangat masa lalu.

  1. Rekreasi
Adalah suatu kesenangan tersendiri dalam mengunjungi objek-objek bersejarah karena kita akan mendapat gambaran bagaimana orang-orang terdahulu membentuk lingkungan binaan yang unik dan berbeda dengan kita sekarang.

  1. Inspirasi
Patriotisme adalah semangat yang bangkit dan tetap akan berkobar jika kita tetap mempertahankan hubungan kita dengan masa lalu, siapa kita sebenarnya, bagaimana kita terbentuk sebagai suatu bangsa dan apa tujuan mulia pendahulu kita. Preservasi objek bersejarah akan membantu untuk tetap mempertahakan konsep-konsep tersebut.

  1. Eknomi
Pada masa kini objek-objek bersejarah telah bernilai ekonomi dimana usahausaha untuk mempertahan bangunan lama dengan mengganti fungsinya telah menjadi komoditas parawisata dan perdagangan yang mendatangkan keuntungan.


v  MANFAAT KOBSERVASI

  1. Memperkaya pengalaman visual
  2. Memberi suasana permanen yang menyegarkan
  3. Memberi kemanan psikologis
  4. Mewariskan arsitektur
  5. Asset komersial dalam kegiatan wisata internasional


v  SKALA/LINGKUP KONSERVASI

  1. Lingkungan Alami (Natural Area)
  2. Kota dan Desa (Town and Village)
  3. Garis Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View Corridor)
  4. Kawasan (Districts)
  5. Wajah Jalan (Street-scapes)
  6. Bangunan (Buildings)
  7. Benda dan Penggalan (Object and Fragments)


v  KRITERIA KONSERVASI

  1. Estetika
  2. Kejamakan
  3. Kelangkaan
  4. Keistimewaan
  5. Peranan Sejarah
  6. Penguat Kawasan di Sekitarnya


v  PERAN ARSITEK DALAM KONSERVASI

Internal:
  1. Meningkatkan kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau memelihara warisan budaya berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi.
  2. Meningkatkan kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis tindakan pemugaran kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse
  3. Melakukan penelitian serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan.
Eksternal:
  1. Memberi masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan dari segi arsitektur.
  2. Membantu Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan kawasan yang dilindungi (Urban Design Guidelines)
  3. Membantu Pemda dalam menentukan fungsi atau penggunaan baru bangunan-bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi (misalnya bekas pabrik atau gudang) serta mengusulkan bentuk konservasi arsitekturalnya.
  4. Memberikan contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat menumbuhkan keyakinan pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas kawasan/bangunan bersejarah, pengembangan akan lebih memberikan daya tarik yang pada gilirannya akan lebih mendatangkan keuntungan finansial.


v  JENIS KEGIATAN PELESTARIAN

       Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni;
  1. Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana-prasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang dikombinasikan dengan penghawaan alami;
  2. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
  3. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
  4. Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi, seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen internal bangunan eksisting;
  5. Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
  6. Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan
  7. Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.


v  KRITERIA TOLAK UKUR DAN PENGGOLONGAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

     Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
  • Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 
  • Tolak ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun. 
  • Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya. 
  • Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut. 
  • Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolak ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni: 
  • Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh. 
  • Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian. 
  • Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.


v  TIPOLOGI BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI INDONESIA

      Bangunan-bangunan peninggalan dan memiliki nilai sejarah harus di pelihara dan dilestarikan bentuk bangunannya di Kawasan Jakarta Utara cukup banyak bangunan peninggalan khususnya kawasan Kota Tua Jakarta, Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur  yang ada di Indonesia, tipologi bangunan dibagi menjadi :



1.       Bangunan masyarakat Kolonial Eropa 

Bangunan periode  VOC   (abad   XVI-XVII), arsitektur periode pertengahan Eropa. Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi. 
Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa). Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak 
Bangunan modern kolonial (abad XX). Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.

2.       Bangunan masyarakat China.



Ciri-ciri bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak di sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: bangunan klenteng yang ada di Petak 9 di daerah Glodok. 

3.       Bangunan masyarakat pribumi.



Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung namun ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami. Saat ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah. 

4.       Bangunan modern Indonesia.



Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional Style. Contohnya: Gedung BNI 46 yang berada di dekat Stasiun Kota. 


v  KLASIFIKASI GOLONGAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

                     Penggolongan bangunan cagar budaya dikelompokan menjadi golongan A, B, C, dan D.Bangunan cagar budaya kelas A adalah bangunan yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Kelas B adalah bangunan cagar budaya yang dapat dipugar dengan cara restorasi. Kelas C dapat diubah dengan tetap mempertahankan tampak bangunan utama. Kelas D dapat dibongkar dan dibangun seperti semula, karena kondisinya membahayakan penghuni dan lingkungan sekitarnya. Secara detail, berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi sebagai berikut:


.       GOLONGAN A

        Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
  • Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah.
  • Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
  • Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. 
  • Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya.

.       GOLONGAN B

        Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
  • Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
  • Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting.
  • Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan.
  • Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.

.       GOLONGAN C 

         Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
  • Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.
  • Detail rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan.
  • Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan.
  • Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota. 
  • Pemanfaatan Kembali Bangunan Cagar Budaya.





Sumber :
https://finifio.wordpress.com/2016/06/04/apa-itu-konservasi-arsitektur/
http://egardanoza.blogspot.com/2018/07/konservasi-arsitektur-konservasi.html
https://winnerfirmansyah.wordpress.com/category/konservasi-arsitektur/